Rabu, 09 November 2011

Hukum Perayaan Ulang Tahun Dalam Islam


Alhamdulillah. Dalil-dalil syariat dari kitab dan sunnah menunjukkan bahwa perayaan hari ulang tahun termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada asalnya dalam syariat yang suci dan tidak boleh memenuhi undangan tersebut karena hal itu berarti mendukung dan mendorong kepada kebid'ahan dan Allah Ta'ala berfirman: 

"Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menetapkan syariat bagi mereka berupa agama yang tidak diizinkan oleh Allah."

Dan firman Allah: 

"Kemudian Kami jadikan kamu di atas syariat dari urusan itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka tidak akan dapat menolak dari kamu dari siksa Allah sedikitpun. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Dan Allah adalah Pelindung bagi orang-orang yang bertaqwa." (Q.S Al Jatsiyah : 18). 

Dan Allah berfirman: 

"Ikutilah olehmu apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan janganlah kamu mengikuti penolong lain selain-Nya. Sedikit sekali di antaramu yang mengambil pelajaran." 

Ada hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bahwa sesungguhnya beliau bersabda: 

"Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka dia tertolak."

Dikeluarkan oleh Muslim di dalam shahihnya. 

Dalam hadits lain beliau bersabda: 

"Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam . Dan sejelek-jelek urusan adalah hal yang diada-adakan dan setiap kebid'ahan adalah sesat." 

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak. 

Kemudian perayaan ini selain bid'ah munkaroh yang tidak ada asalnya dari syariat juga di dalamnya terkandung tasyabbuh (menyerupai) dengan Yahudi dan Nashara tentang peringatan hari lahir. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda mewanti-wanti dari sunnah dan jalan hidup mereka: 

"Kalian pasti akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak pun pasti kalian akan memasukinya." Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara ?" Beliau menjawab: "Siapa lagi ?" Dikeluarkan oleh Bukhari Muslim daalam Shahihain.

Dan makna " Siapa lagi ?" artinya merekalah orang-orang yang dimaksud dengan perkataan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam ini. Beliau Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun bersabda: 

"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu."
                                                                                                                     Fatwa Islam 1/115.

UNTUKMU SURATKU

Kepada yang tercinta, bundaku yang ku sayang…
      Segala puji bagi Allah yang telah emuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga. Sholawat serta salam hamba yang lemah ini panjatkan keharibaan nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat, amin….
Ibu, aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka. Aku telah membaca semuanya, tidak ada satu hurufpun yang aku sisakan. Tapi tahukah engkau ibu, bahwa aku membacanya semenjak sholat isya, kututup pintu kamar, aku buka surat yang engkau tuliskan untukku, dan baru aku selesaikan membacanya setelah ayam berkokok, seelah fajar telah terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan. Sebenarnyalah jika surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruhkan kedalam batu tentu dia akan pecah, jika engkau letakkan di atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam, tidak akan termakan oleh itik. Sebenarnyalah wahai ibu, suratmu itu bagaikan petir kemurkaan yang jika dikejutkan ke pohon yang besar, maka dia akan rebah dan terbakar. Suratmu wahai ibu bagaikan awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku. Ibu, aku telah baca suratmu, sedangkan airmataku tidak pernah berhenti. Bagaimana tidak, jika surat itu ditulis seorang yang bukan ibu dan ditulis bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yang paling bebal untuk menangis sejadi-jadinya, bagaimana kiranya yang menulis itu adalah ibuku sendiri, adalah engkau dan surat itu ditujukan untukku sendiri, adalah aku. Sungguh, aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yang telah dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata. Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu, bukan cerita yang ibu karang atau sebuah drama yang ibu perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yang ibu rasakan.
      Ibuku yang kusayangi, sungguh berat cobaanmu, sungguh malang penderitaanmu, semua yang engkau telah sebutkan adalah benar adanya. Aku masih ingat pada ketika engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meniggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak, disekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau melangkah kekedai untuk membeli alakadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual, bahwa apa yang engkau ambil tersebut adalah hutang, hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan akan melunasinya. Ibu, aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku setelah sepulang sekolah sebuah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera. Atau aku masih ingat, engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.
      Ibu, maafkanlah anakmu ini. Aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yang diceritakan oleh nenek, sampai engkau telah tua seperti sekarang ini, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan. Duniamu, hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu. Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu, selain dari itu tidak ada kebahagiaan. Semua hidupmu adalah perjuangan, semua hari-harimu adalah pengorbanan.
Ibu, maafkan anakmu ini. Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang teah engkau sanjung suku dan negerinya, semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu, lupa denganmu wahai ibu. Keberadaan dia sebagai istriku telah melupakan posisi engkau sebagai ibuku. Senyuman dan sapaannya telah melupakanku dengaan himbauanmu. Ibu, aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, tidak, karena kewajibannya untuk menunaikan tanggung jawabnya sebagai istri. Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa namanya dan menaikkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini dimataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya, istri yang selalu menyuruh untuk berbuat taat dan berbakti kepada orang tua.
      Ibu, ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia telah menemukan permainan baru, seperti anak kecil mendapat boneka atau orang-orangan. Maafkan aku ibu, aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini adalah kesalahan ada padaku, anakmu ini. Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang aku alami, perubahan suasana yang telah engkau dengan aku berpisah, tidak satu atap lagi. Ibu, perkawinanku membuatku masuk ke alam dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah aku kenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anak-anakku. Bagaimana tidak? Istri yang baik, anak-anak yang lucu. Maafkan aku ibu, maafkan aku anakmu. Aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang yang penting bagiku, aku tidak peduli. Yang penting bagiku adalah keadaan mereka, anak-anak dan istriku. Ibu,maafkan aku anakmu, ampunkan aku anakmu, aku telah lalai dan telah alpa, aku telah lupa dan aku menyia-nyiakanmu. Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan unuk cinta kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya. Ibu, anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya, difitrahkan. Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan, sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tua. Itulah yang terjadi pada diriku wahai ibuku.
      Aku pasti akan gila ketika melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare, tetapi itu sulit aku rasakan jika hal itu terjadi kepadamu, wahai ibuku (dan pada ayah). Ibu, sangat sulit aku merasakan perasaanmu, kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah engkau talkinkan kepadaku, tentu aku telah seperti anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya, kalaulah bukan pula karena baktimu kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan pernah mengenal bakti kepada kedua orang tua. Setelah suratmu datang, baru aku mengerti, karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan yang berat  yang kau hadapi selama ini. Sekarang baru aku mengerti wahai ibu, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu adalah hari dimana anak laki-lakinya telah menikah dengan seorang wanita. Wanita yang telah mendapat keberuntungan, bagaimana tidak? Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadinya dan telah matang ekonominya, dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya, dari hidup ibu itulah dia mendapatkan kematangan jiwa, dan dari uang ibu itu pulalah ia dapatkan kematangan ekonominya. Sekarang degan ikhlas ia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut perhatian seorang laki-laki. Dia sebagai anak dari ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.
      Ibuku sayang, maafkan aku, ampunkan diriku, satu tetes air matamu adalah lautan api neraka bagiku, janganlah engkau menangis lagi, jangan, janganlah engkau berduka lagi, karena duka dan tangismu akan menambah dalam jatuhku kedalam api neraka, aku takut ibu, takut. Kalau akan itu pula yang aku peroleh, kalaukan neraka pula yang aku dapatkan, izinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk menyeka air matamu. Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu dengan membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkan kepadamu, lalu terserah engkau, terserah engkau, terserah engkau mau engkau perbuat apa.
      Sungguh ibu, dari hati aku katakana “aku tidak mau masuk neraka”, sekalipun aku memiliki kekuasaan Fir’aun, dan kekayaan Qarun, dan keahlian Haman, niscaya aku tidak akan tukar dengan kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat. Siapa pula yang tahan dengan adzab neraka wahai bunda ?maafkan, maafkan aku anakmu wahai ibu. Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan tentang pengaduan kepada Allah subhanahuwata’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit, bahwa engkau belum lagi mau berdo’a akan kedurhakaanku, maka ampun wahai ibu. Kalaulah itu yang terjadi, do’a ibu tersampai kelangit, salah pula ucap lisanmu, apalah jadinya nanti diriku, tentu aku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan? Tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar kebumi dan dahannya tidak sampai ke langit, ditengahnya dimakan kumbang pula. Kalaulah do’amu terucap atasku wahai ibunda, maka tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.
      Ibu, dalam sepanjang sejarah anak manusia yang kubaca, maka tidak ada orang yang berbahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka tidak dapat dibayangkan bagaimana nasibnya di akhirat, tentu ia lebih sengsara. Ibu, setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealpaan, dan kelalaianku. Ibu, pastikan suratmu akan kujadikan pedoman dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu, kan ku baca ulang kembali. Tiap kali aku lengah darimu, akan ku talkinkan diriku dengannya, akan ku simpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya ke dalam kotak wasiatku. Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang mustinya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.
      Bunda, engkau berbicara tenteng tua bunda. Siapa yang tidak mengalami penuaan, wahai ibu? Burung elang yang terang di angkasa tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung-burung kecil. Sinag, si raja hutan yang selalu memangsa jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk, yang akan dipertanggung jawabkan. Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa depan dimana banyak anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah kelangit munajatmu untukku agar aku peroleh kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.
      Ibu, sesampainya suratku ini insya Allah tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu. Bahagiamu dalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, senyumanmu adalah senyumanku, tangismu adalah tangisku, aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya, dan aku berharap agar aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih bisa berkedip, maka bahagiakanlah dirimu, buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum. Ini kami, aku, istri dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat, dari anakmu yang durhaka
Wallahu ta’ala a’lam